TUGAS KELOMPOK
PENYERTAAN
HUKUM PIDANA
Oleh:
Fiki Kurniawan
Firanda Adi Saputra
Hendri Syaiful Nugraha
Okto Ari Wibowo
Supriadi
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH METRO
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Hukum Pidana mengenai
“Penyertaan”, makalah ini di buat untuk memenuhi standar dalam mata kuloiah
Hukum Pidana. Penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Heni Siswanto SH. MH ,
selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana.
2. Keluarga yang telah memberi
dukungan dalam penyelesaian makalah ini.
3. Temen-teman yang telah
membantu dan memberikan idenya pada makalah ini.
Adapun saran yang membangun selalu penulis harapkan
untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Semoga
makalah ini dpat menjadi bacaan yang bermanfaat.
Penulis
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan
orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian
ada dua pihak, yaitu pembuat langsung(manus ministra/auctor physicus), dan
pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).
Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup
umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak. Banyak sekarang terjadinya hal yang demikian dan
memberatkan orang lain karena oranglain itu yang mengerjakannya
1.2 Rumusan Maslaah
Dari
latar belakang diatas dapat di simpulkan beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Istilah, pengertian dan sifat
penyertaan
2. Pembagian penyertaan menurut
KUHP Indonesia
3. Penyertaan dengan kealpaan
4. Penyertaan yang tidak dapat
di hindarkan
5. Tindakan sesudah terjadinya tindak
pidana
6.
Perbuatan penyertaan pada penyertaan
1.3 Tujuan penulis
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Hukum Pidana tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan
kepada pembaca mengenai arti, istilah dan bagian apa saja yang ada di dalam
Penyertaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Istilah, Pengertian dan Sifat Penyertaan
Ada bebrapa
istilah di dalam penyertaan:
1. Turut campur dalam peristiwa
pidana (Tresna)
2. Turut berbuat delik (Karni)
3. Turut serta (utrecht)
4. Deelneming (Belanda),
Complicity (Inggris), Teilnahme/Tatermehrheit (Jerman), Participation
(Perancis).
Ada beberapa pandangan tentang sifat
penyertaan.
1. Sebagai strafausdehnungsgrund
(dasar memperluas dapat di pidananya orang):
·
Penyertaan di pandang sebagai persoalan pertanggung jawab
pidana.
·
Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.
·
Penganut a.l. : simons, van hattum, hazewinkelsuringan.
2. Sebagai tatbestandausdehnungsgrund
(dasar memperluas dapat di pidananya perbuatan)
·
[penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana.
·
Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.
·
Penganut antara lain : pompe, mulyatno, roeslan saleh.
2.2 Penyertaan menurut KUHP Indonesia
1. Pembagian penyertaan menurut
KUHP Indonesia ialah:
a. Pembuat/dader (pasal 55) yang
terdiri dari:
-
Pelaku (pleger)
-
Yang menyuruh-melakukan (doenpleger)
-
Yang turut serta (medepleger)
-
Penganjur (uitlokker)
b. Pembantu/mendeplichtige
(pasal 56) yang terdiri dari:
-
Pembantu pada saat kejahatan dilakukan.
-
Pembantu sebelum, kejahatan dilakukan.
2. Pleger (pelaku)
a. Pelaku ialah orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
b. Dalam praktek sukar
menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-undang tidak menentukan secara
pasti siapa yang menjadi pembuat.
c. Kedudukan “pleger” dalam
pasal 55 sering di permasalahkan.
3. Doenpleger (orang yang
menyuruh melakukan).
a. Doenpleger ialah orang yang
melakukan perbuatan dengan melalui perantara orang lain, sedang perantara ini
hanya diumpamakan sebagai alat.
b. Hal yang menyebabkan alat
(pembuat meteril).
c. Dalam hal pembuat materil
(alat) seorang yang belum cukup umur, maka tetap ada menyuruh lakukan, karena
pada dasarnya KUHP menganggap orang yang belum cukup umur itu tetap mampu
bertanggung jawab (pasal 45 jo.47) namun demikian, apabila yang disuruh itu
anak yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya,
maka dalam hal ini dimungkinkan ada penyuruh-lakukan.
4. Medepleger (orang yang trurut
serta)
a. Pengertian
1. Undang-undang tidak
memberikan definisi.
2. Menurut MvT : orang yang
turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan
terjadinya sesuatu.
3. Menurut pompe: turut
mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana.
b. Syarat adanya medepleger
1. Ada kerjasama secara sadar
(bewuste samenwerking).
2. Adanya pelaksanaan bersama
secara fisik (gezamenlijke uitvoering/physieke samenwerking).
5. Uitlokker (penganjur)
a. Pengertian
Penganjur
ialah orang yang menggerakan oprang lain untuk melakukan suatu tindak pidana
dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang.
Penganjur
|
Menyuruh-lakukan
|
1.
Menggerkannya dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)
2.
Pembuat materil dapat dipertanggung jawabkan (tidak
merupakan manus ministra)
|
1.
Sarana menggerakannya tidak ditentukan (tidak liminatif)
2.
Pembuat materil tidak dapat dipertanggung jawabkan
(merupakan manus ministra)
|
b. Syarat penganjuran yang dapat
dipidana
Berdasarkan
pengertian diatas, maka syarat penganjuran yang dapat dipidana ialah:
1. Ada kesengajaan untuk
menggerkkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.
2. Menggerakannya dengan
menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam undang-undang
(besifat liminatif).
3. Putusan kehendak dari si
pembuat materil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada
psychische causaliteit).
4. Si pembuat materil tersebut
melakukan tindak pidana yang di anjurkan atau melakukan tindak pidana.
5. Pembuat materil tersebut
harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana.
c. Pertanggungan jawab si
penganjur
Dalam
pasal 55 ayat 2, dinyatakan bahwa penganjur dipertanggung jawabkan terhadap
perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya.
6. Pembantuan (medeplichtige)
a. Sifat
Dilihat
dari pembantunya, pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya
pembantuan harus ada yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang yang di
bantu).
Tetapi
dilihat dari pertanggungan jawabnya tidak accessoir, artinya dipidananya
pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.
b. Jenis
Menurut
pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu:
1. Jenis pertama
·
Waktunya : pada saat kejahatan dilakukan.
·
Caranya : tidak ditentukan secara liminatif dalam
undang-undang.
Pembantu jenis pertama ini mirip
dengan turut serta (medeplegen), perbedaannya:
Pembantu
|
Turut-serta
|
a.
Menurut ajaran penyertaan obyektif:
Ø Perbuatannya hanya
merupakan perbuatan membantu/menunjang (onderstauningshanling)
b.
Menurut ajaran subyektif:
Ø Kesengajaan merupakan animus
socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain)
Ø Tidak harus ada kerja sama
yang disadari (beweste samenwerking)
Ø Tidak mempunyai
kepentingan/tujuan sendiri
c.
Terhadap pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP)
d.
Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (Pasal 57 ayat 1)
|
a.
Menurut ajaran obyektif:
Ø Perbuatannya merupakan
perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelling)
b.
Menurut ajaran subyektif:
Ø Kesenjangannya merupakan
animus coauctores (diarahkan untuk terwujudnya delik)
Ø Harus ada kerjasama yang disadari
(buwuste samenwerking)
Ø Mempunyai
kepentingan/tujuan sendiri
c.
Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana
d.
Maksimum pidananya sama dengan si pembuat (pasal 55)
|
2. Jenis kedua
·
Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan.
·
Caranya : ditentukan secara liminatif dalam undang-undang
yaitu dengan cara “memberikan kesempatan, sarana atau keterangan”.
Pembantuan
jenis kedua ini mirip dengan penganjuran (uitlokking),perbedaannya:
Ø Pada penganjuran : kehendak
untuk melakukan kejahatan pada pembuat materil ditimbulkan oleh si penganjur.
Ø Pada pembantuan : kehendak
jahat pada pembuat materil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si
pembantu).
2.3 Penyertaan dengan kealpaan (culpose deelneming)
Misal
:
1. A memberi gunting kepada B
yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk
mencuri atau membunuh.
2. Pada waktu B akan memasuki
rumah si C dengan maksud mencuri, iya berkelakuan seolah-olah (pura-pura)
kehilangan kunci rumah. A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu
bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri,
menolong B membuka kaca jendela sehinga
B dapat masuk kerumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut
Vos, A tidak dapat di pidana karena untuk “membujuk” atau “membantu” menurut
hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini juga harus dipenuhi
untuk :
-
Doenplegen/menyuruh lakukan (dianologikandengan “membujuk”).
-
Medeplegen/turut serta (dianologikan dengan “membantu”).
Terhadap kasus serupa itu KARNI juga
berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja” di dalam pasal
56 merupakan anasir subyektif dari pebantuan, artinya kesengajaan si
pembantu harus diarahkan pada kejahatan
ybs.
2.4 Penyertaan yang tak dapat dihindarkan (Noodzakelijke
Deelneming/Necessary Complicity/Notwendige Teilnahme)
Misal
:
1. Pasal 149 : menyuap
(membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih.
2. Pasal 238 : membujuk orang
untuk masuk dinas militer negara asing.
3. Pasal 279 : bigami.
4. Pasal 284 : perzinahan.
5. Pasal 287 : melakukan
hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun.
6. Pasal 345 : menolong orang
lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh-contoh diatas, delik
baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada.
apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang di maksud dengan penyertaan yang tak dapat dihindarkan atau penyertaan yang diharuskan.
apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang di maksud dengan penyertaan yang tak dapat dihindarkan atau penyertaan yang diharuskan.
Mr. Karni menyebutnya dengan istilah
“bekerja bersama sama yang harus diharuskan oleh penegasan delik”. Jadi oleh
beliau dimasukan dalam pengertian “Noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang
diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja/berbuat bersama-sama”
oleh beliau adalah sam dengan istilah “ turtu serta” (medeplegen).
Dalam
pasal-pasal diatas ada yang menetapkan bahwa yang dipidana hanya si pelaku ,
tetapi ada juga yang menetapkan bahawa kawan pelaku yang terlibat dalam
kejahatan itu dapat dipidana. Mengenai pasal 287, Karni mempersoalkan bagaimana
apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak perempuan yang
belum berumur 15 tahun itu sendiri ... ?
terhadap hal ini, Karni menyatakan tidak keberatan untuk memidana anak ganis
tersebut.
2.5 Tindakan-tindakan sesudah terjadinya tindak pidana
Misal :
1. Pasal 221 : menyembunyikan
penjahat.
2. Pasal 223 : menolong orang
melepaskan diri dari tahanan.
3. Pasal 480, 481, 482 :
delik-delik penadahan.
4. Pasal 483 : menerbitkan
tulisan/gambar yang dapat dipidana karena sifatnya.
Dalam contoh-contoh diatas sebenarnya
juga merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan setelah terjadinya tindak
pidana lain. Dalam ilmu hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah
“Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk “pemudahan”).
2.6 Perbuatan penyertaan pada penyertaan (Deelneming Aan
Deelnemingshandelingen)
Misal:
1. Membujuk untuk membujuk
(pasal 55 jo.55):
Ø Putusan Landraad Batavia
18-2-1936
Ø Putusan Rv j Batavia
20-3-1936
Ø Putusan Rv j Semarang
20-12-1937
2. Membujuk untuk membantu
(pasal 55 jo.56):
Ø Putusan Rv j Batavia 8-5-1930
3. Membantu untuk menganjurkan
(pasal 56 jo.55)
Ø Putusan Hoge Raad 25-1-1950
DAFTAR PUSTAKA
Arief Barda Nawawi, 1990, Hukum Pidana II, yayasan sudarto fakultas
hukum universitas diponogoro, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar