Senin, 02 April 2012

PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA


TUGAS KELOMPOK
PENYERTAAN
HUKUM PIDANA






Oleh:
Fiki Kurniawan
Firanda Adi Saputra
Hendri Syaiful Nugraha
Okto Ari Wibowo
Supriadi



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH METRO
2011/2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Hukum Pidana mengenai “Penyertaan”, makalah ini di buat untuk memenuhi standar dalam mata kuloiah Hukum Pidana. Penulis ucapkan terimakasih kepada:
1.      Bapak Heni Siswanto SH. MH , selaku dosen mata kuliah Hukum Pidana.
2.      Keluarga yang telah memberi dukungan dalam penyelesaian makalah ini.
3.      Temen-teman yang telah membantu dan memberikan idenya pada makalah ini.
Adapun saran yang membangun selalu penulis harapkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dpat menjadi bacaan yang bermanfaat.


Metro, 25 Oktober 2011

Penulis







BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Banyak orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung(manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).
Jika yang disuruhlakukan seorang anak kecil yang belum cukup umur maka tetap mengacu pada Pasal 45 dan Pasal 47 jo. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Banyak sekarang terjadinya hal yang demikian dan memberatkan orang lain karena oranglain itu yang mengerjakannya

1.2  Rumusan Maslaah
Dari latar belakang diatas dapat di simpulkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Istilah, pengertian dan sifat penyertaan
2.      Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia
3.      Penyertaan dengan kealpaan
4.      Penyertaan yang tidak dapat di hindarkan
5.      Tindakan sesudah terjadinya tindak pidana
6.      Perbuatan penyertaan pada penyertaan

1.3  Tujuan penulis
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Pidana tetapi juga untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada pembaca mengenai arti, istilah dan bagian apa saja yang ada di dalam Penyertaan.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Istilah, Pengertian dan Sifat Penyertaan
Ada bebrapa istilah di dalam penyertaan:
1.      Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna)
2.      Turut berbuat delik (Karni)
3.      Turut serta (utrecht)
4.      Deelneming (Belanda), Complicity (Inggris), Teilnahme/Tatermehrheit (Jerman), Participation (Perancis).

Ada beberapa pandangan tentang sifat penyertaan.
1.      Sebagai strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat di pidananya orang):
·         Penyertaan di pandang sebagai persoalan pertanggung jawab pidana.
·         Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna.
·         Penganut a.l. : simons, van hattum, hazewinkelsuringan.
2.      Sebagai tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat di pidananya perbuatan)
·         [penyertaan dipandang bentuk khusus  dari tindak pidana.
·         Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.
·         Penganut antara lain : pompe, mulyatno, roeslan saleh.







2.2  Penyertaan menurut KUHP Indonesia

1.      Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia ialah:
a.      Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari:
-          Pelaku (pleger)
-          Yang menyuruh-melakukan (doenpleger)
-          Yang turut serta (medepleger)
-          Penganjur (uitlokker)
b.      Pembantu/mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari:
-          Pembantu pada saat kejahatan dilakukan.
-          Pembantu sebelum, kejahatan dilakukan.

2.      Pleger (pelaku)
a.      Pelaku ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
b.      Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat.
c.       Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 sering di permasalahkan.
3.      Doenpleger (orang yang menyuruh melakukan).
a.      Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan dengan melalui perantara orang lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.
b.      Hal yang menyebabkan alat (pembuat meteril).
c.       Dalam hal pembuat materil (alat) seorang yang belum cukup umur, maka tetap ada menyuruh lakukan, karena pada dasarnya KUHP menganggap orang yang belum cukup umur itu tetap mampu bertanggung jawab (pasal 45 jo.47) namun demikian, apabila yang disuruh itu anak yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini dimungkinkan ada penyuruh-lakukan.




4.      Medepleger (orang yang trurut serta)
a.      Pengertian
1.      Undang-undang tidak memberikan definisi.
2.      Menurut MvT : orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja  turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
3.      Menurut pompe: turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana.
b.      Syarat adanya medepleger
1.      Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking).
2.      Adanya pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke uitvoering/physieke samenwerking).

5.      Uitlokker (penganjur)

a.      Pengertian
Penganjur ialah orang yang menggerakan oprang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang.
Penganjur
Menyuruh-lakukan
1.      Menggerkannya dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)
2.      Pembuat materil dapat dipertanggung jawabkan (tidak merupakan manus ministra)
1.      Sarana menggerakannya tidak ditentukan (tidak liminatif)
2.      Pembuat materil tidak dapat dipertanggung jawabkan (merupakan manus ministra)

b.      Syarat penganjuran yang dapat dipidana
Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat penganjuran yang dapat dipidana ialah:
1.      Ada kesengajaan untuk menggerkkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.

2.      Menggerakannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam undang-undang (besifat liminatif).
3.      Putusan kehendak dari si pembuat materil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b (jadi ada psychische causaliteit).
4.      Si pembuat materil tersebut melakukan tindak pidana yang di anjurkan atau melakukan tindak pidana.
5.      Pembuat materil tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum pidana.
c.       Pertanggungan jawab si penganjur
Dalam pasal 55 ayat 2, dinyatakan bahwa penganjur dipertanggung jawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya.

6.      Pembantuan (medeplichtige)
a.      Sifat
Dilihat dari pembantunya, pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang yang di bantu).
Tetapi dilihat dari pertanggungan jawabnya tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.
b.      Jenis
Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu:
1.      Jenis pertama
·         Waktunya : pada saat kejahatan dilakukan.
·         Caranya : tidak ditentukan secara liminatif dalam undang-undang.
Pembantu jenis pertama ini mirip dengan turut serta (medeplegen), perbedaannya:



Pembantu
Turut-serta
a.      Menurut ajaran penyertaan obyektif:
Ø  Perbuatannya hanya merupakan perbuatan membantu/menunjang (onderstauningshanling)
b.      Menurut ajaran subyektif:
Ø  Kesengajaan merupakan animus socii (hanya untuk memberi bantuan saja pada orang lain)
Ø  Tidak harus ada kerja sama yang disadari (beweste samenwerking)
Ø  Tidak mempunyai kepentingan/tujuan sendiri
c.       Terhadap pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP)
d.      Maksimum pidananya dikurangi sepertiga (Pasal 57 ayat 1)
a.      Menurut ajaran obyektif:
Ø  Perbuatannya merupakan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelling)


b.      Menurut ajaran subyektif:
Ø  Kesenjangannya merupakan animus coauctores (diarahkan untuk terwujudnya delik)
Ø  Harus ada kerjasama yang disadari (buwuste samenwerking)
Ø  Mempunyai kepentingan/tujuan sendiri


c.       Terhadap kejahatan maupun pelanggaran dapat dipidana
d.      Maksimum pidananya sama dengan si pembuat (pasal 55)



2.      Jenis kedua
·         Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan.
·         Caranya : ditentukan secara liminatif dalam undang-undang yaitu dengan cara “memberikan kesempatan, sarana atau keterangan”.


Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran (uitlokking),perbedaannya:
Ø  Pada penganjuran : kehendak untuk melakukan kejahatan pada pembuat materil ditimbulkan oleh si penganjur.
Ø  Pada pembantuan : kehendak jahat pada pembuat materil sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan oleh si pembantu).


2.3  Penyertaan dengan kealpaan (culpose deelneming)
            Misal :
1.      A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan oleh B untuk mencuri atau membunuh.
2.      Pada waktu B akan memasuki rumah si C dengan maksud mencuri, iya berkelakuan seolah-olah (pura-pura) kehilangan kunci rumah. A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B membuka kaca  jendela sehinga B dapat masuk kerumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat di pidana karena untuk “membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini juga harus dipenuhi untuk :
-          Doenplegen/menyuruh lakukan (dianologikandengan “membujuk”).
-          Medeplegen/turut serta (dianologikan dengan “membantu”).
Terhadap kasus serupa itu KARNI juga berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya unsur “sengaja” di dalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari pebantuan, artinya kesengajaan si pembantu  harus diarahkan pada kejahatan ybs.


2.4  Penyertaan yang tak dapat dihindarkan (Noodzakelijke Deelneming/Necessary Complicity/Notwendige Teilnahme)

Misal :
1.      Pasal 149 : menyuap (membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih.
2.      Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer negara asing.
3.      Pasal 279 : bigami.
4.      Pasal 284 : perzinahan.
5.      Pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun.
6.      Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat) yang mau harus ada.
apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang di maksud dengan penyertaan yang tak dapat dihindarkan atau penyertaan yang diharuskan.
Mr. Karni menyebutnya dengan istilah “bekerja bersama sama yang harus diharuskan oleh penegasan delik”. Jadi oleh beliau dimasukan dalam pengertian “Noodzakelijke medeplegen” (turut serta yang diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja/berbuat bersama-sama” oleh beliau adalah sam dengan istilah “ turtu serta” (medeplegen).
            Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan bahwa yang dipidana hanya si pelaku , tetapi ada juga yang menetapkan bahawa kawan pelaku yang terlibat dalam kejahatan itu dapat dipidana. Mengenai pasal 287, Karni mempersoalkan bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak perempuan yang belum berumur  15 tahun itu sendiri ... ? terhadap hal ini, Karni menyatakan tidak keberatan untuk memidana anak ganis tersebut.

2.5  Tindakan-tindakan sesudah terjadinya tindak pidana

Misal :
1.      Pasal 221 : menyembunyikan penjahat.
2.      Pasal 223 : menolong orang melepaskan diri dari tahanan.
3.      Pasal 480, 481, 482 : delik-delik penadahan.
4.      Pasal 483 : menerbitkan tulisan/gambar yang dapat dipidana karena sifatnya.
Dalam contoh-contoh diatas sebenarnya juga merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam ilmu hukum pidana Jerman dikenal dengan istilah “Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk “pemudahan”).

2.6  Perbuatan penyertaan pada penyertaan (Deelneming Aan Deelnemingshandelingen)
Misal:
1.      Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo.55):
Ø  Putusan Landraad Batavia 18-2-1936
Ø  Putusan Rv j Batavia 20-3-1936
Ø  Putusan Rv j Semarang 20-12-1937
2.      Membujuk untuk membantu (pasal 55 jo.56):
Ø  Putusan Rv j Batavia 8-5-1930
3.      Membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo.55)
Ø  Putusan Hoge Raad 25-1-1950





DAFTAR PUSTAKA
Arief Barda Nawawi, 1990, Hukum Pidana II, yayasan sudarto fakultas hukum universitas diponogoro, Semarang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar