TUGAS MAKALAH
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Oleh:
Hendri Syaiful Nugraha NPM: 10810823
Hendri Syaiful Nugraha NPM: 10810823
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH METRO
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Hukum Perdata
Internasional
mengenai “ Perkembangan HPI”, makalah ini di buat untuk memenuhi standar dalam mata kuliah Hukum
Perdata Internasional. Penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Intan, selaku dosen mata kuliah
Hukum Perdata Internasional.
2. Keluarga yang telah memberi
dukungan dalam penyelesaian makalah ini.
3. Temen-teman yang telah
membantu dan memberikan idenya pada makalah ini.
Adapun saran yang membangun selalu penulis harapkan
untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat
menjadi bacaan yang bermanfaat.
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTA……………………………………………..
DAFTAR
ISI……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN ………………………………………
BAB II
PEMBAHASAN ……………………………………….
BAB III
PENUTU ………………………………………………
KESIMPULAN………………………………………………….
SARAN...........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Awal
Perkembangan Hukum Perdata Internasional
Didalam perkembangan sejarah HPI,
tampaknya perdagangan (pada taraf permulaan adalah pertukaran barang
atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkankaida-kaidah HPI. Pada jaman
romawi kuno, segala persoalan yang timbul sebagai akibathubungan antara orang
romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilankhusus yang disebut
praetor peregrinos. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya
adalah hukum yang berlaku bagi para civies Romawi,yaitu Ius Civile yangtelah
disesuaikan dengan pergaulan internasional.Ius Civile yang telah diadaptasi
untuk hubungan internasional yang kemudian disebut Ius Gentium. Ius
Gentium juga memuatkaidah kaidah yang dapat dikategorikan kedalam Ius Privatum
dan Ius Publicum. IusGentium yang menjadi bagian Ius privatum berkembang
menjadi hukum perdatainternasional (HPI), sedangkan Ius Gentium yang menjadi
bagian Ius Publicum telah berkembang menjadi hukum internasional politik.
Pada masa romawi perkembangan asas-asas yang dilandasi
prinsip atau asas teretorial,yang dewasa ini dianggab sebagi asas HPI yang
penting, misalnya:
1. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang
menyatakan bahwa hukum yang harusdiberlakukan atas suatu benda adalah huum dari
tempat dimana benda tersebut beradaatau terletak.
2. Asas Lex Loci Contractus, yang
menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian(yang bersifat HPI) berlaku
kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.
3. Asas Lex Domicilli, yang menyatakan
bahwa hukum yang mengatur hak sertakewajiban perorangan adalah hukum dari
tempat seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prisip teretorial, hukum yang berlaku bersifat teretorial. Setiap wilayah(teritorial) memiliki hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang brlaku terhadapsemua orang atau benda yang berada diwilayah itu, dan perbuatan-perbuatan hukum yangdilakukan di wilayah itu.
B. Latar Belakang Masalah
1. Masa awal perkembangan HPI
2. Pertumbuhan Asas Personal (Abad
VI-IX Masehi)
3. Pertumbuhan asas territorial (Abad
IX-XII Masehi)
4. Perkembangan teori statute di itali
(Abad XII-XV Masehi)
5. Teori statute di prancis (Abad XVI )
6. Teori statute di negeri Belanda
(Abad XVII)
7. Teori-teori Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal Perkembangan Hukum Perdata
Internasional (HPI)
dalam sejarah perkembangan HPI,
tampaknya perdagangan (pada tahap permulaan adalah pertukaran barang atau
barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah HPI. Pada jaman
romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang
romawi dan pedagang asingdiselesaikan oleh hakim oengadilan khusus yang disebut
praetor peregrinis. Hokum yang
digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hokum yang berlaku bagi para
cives romawi, yaitu ius civile yang telah disesuaikan
dengan pergaulan internasional. Ius
civile yang telah diadaptasi untuk hubungan internasional itu kemudian
disebut Ius Gentium.
Sebagaimana halnya ius civile, Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius Gentium
yang menjadi bagian ius privatum
berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius
Gentium yang menjadi bagian ius
publicum telah berkembang menjadi hokum internasional publik atau
territorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya :
a.
Asas Lex Rei Sitae
(Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu
benda adalah hukum dari temapt benda tersebut berada.
b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap
perjanjian-perjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari
tempat pembutan perjanjian.
c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta
kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prinsip territorial, hukum
yang berlaku bersifat territorial. Setiap wilayah memiliki hukumnya sendiri dan
hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau benda yang berada
di wilayah itu dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.
B.
Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad
6-10 M)
Pada akhir abad 6M kekaisaran romawi
ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa. Bekas wilayah kekaisaran romawi
diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara
geneologis. Kedudukan ius civile
menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap
memberlakukan hokum personal, hokum keluarga serta hokum agamanya masing-masing
di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip territorial telah berubah
menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hokum yang berlaku
digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Sehingga dalam wilayah tertentu
mungkin akan berlaku beberapa hokum sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang
menyangkut dua suku bangsa yang berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah
hokum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hokum mana yang akan
diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada
masa tersebut yang dewasa ni dapat dikategorikan sebagai asas HPI (yang berasa
personal), misalnya:
a.
Asas yang menetapkan bahwa hokum yang berlaku dalam suatu
perkara adalah hokum personal dari pihak tergugat.
b.
Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan
perbuatan hokum seseorang ditentukan oleh hokum personal orang tersebut.
Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hokum
personal dari masing-masing pihak.
c.
Asa yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur
berdasarkan hokum personal si pewaris.
d.
Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan
hokum personal sang suami.
C. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad
11-12 M
Dikawasan Eropa Utara terjadi
peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat territorial tampak dari
tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris,
Prancis, dan Jerman sekarang. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hokum mereka sendiri
terhadap semua orang dan semua hubungan hokum yang berlangsung diwilayahnya.
Dengan perkataan lain tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang
dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut penguasa, sehingga dalam keadaan
demikian HPI tidak berkembang sama sekali. Di kawasan Eropa bagian
selatan transformasi dari asa personal genealogis ke asa territorial
berlangsung bersamaan dengan pertumubuhan pusat-pusat perdagangan khususnya di
Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah genealogis atau feodalisme,
melainkan tempat tinggal yang sama. Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu
antara lain Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota
tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan :
1.
Batas-batas territorial sendiri.
2.
System hokum local sendiri yang berlainnya satu dengan yang
lainnya dan berbeda pula dengan hokum romawi dan Lombardi yang berlaku umum di
seluruh Italia.
D. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15M)
Seiring makin berkembangnya
perdagangan antara warga kota-kota di Italia, penerapan asa territorial tidak
dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.
System feodal memandang hanya
peraturan-peraturan hokum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan
atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu
hokum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat
dipertahankan lagi apabila hak-hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak
yang dibuat di kota A akan dikesampingkan di kota B.
Situasi ini mendorong para ahli
hokum di universitas-universitas di Italia untuk mencari asas-asa hokum yang
dianggap lebih adil dan wajar. Usaha yang dilakukan adalah dengan membuat
tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dala hokum romawi.
Mereka inilah yng termasuk golongan postglossatoren.
Dalam mencari dasar hokum yang baru
untuk mengatur hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang tunduk pada system hokum
yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus
iuris dai Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata
cuntos popules ques clementiae nostrae
regit imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks codex tersebut ditemukan
Glosse Accursius (1128) yang pada pokoknya menyatakan : “ apabila seseorang warga bologna
digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status dari Modena dari
kota mana ia bukan merupakan warga oleh karena dalam Undang-Undang Contos Popolos telah ditentukan … ques nostrae clementiae regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan
Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (1314-1357).
Bartolus menghububgkan statuta personalia dengan lex originis dan statute
realia dengan kekuasaan territorial hokum itu. Ia membedakan statuta ke dalam
statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu.
·
Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa
berlaku secara personal. Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun
dia berada.
·
Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa
secara terotorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk
undang-undang tunduk di bawah statuta- statutanya.
·
Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang
diadakan di tempat berlakunya Statuta itu denga segala akibat hukumnya.
Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatur menurut
Statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.
Berdasarkan doktrin Statuta tersebut
kemudian dikembangkan metode berfikir HPI sebagai berikut :
1.
Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan
status benda, maka kedudukan hokum benda itu harus diatur berdasarkan statuta
realia dari tempat diman benada itu berada. Dalam perkembanganya, cara berfikir
realia semacam ini hanya berlaku
terhadap benda tetap saja sedang terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.
2.
Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status
personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statute
personlia dari tempat diman orang tersebut berkediaman tetap (lex domicilii).
3.
Apabila persoalan HPI ysng dihadapi berkenaan dengan bentuk
dan atu akibat dari suatu perbuatan hokum, maka bentuk dan akibat perbuatan
hokum itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta
dari tempat dimana perbuatan itu dilakukan.
E. Teori Statuta di Perancis (Abad 16)
Pada abad ke-16 propinsi-propinsi di
peramcis memiliki hokum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada
keanekaragaman coutume tersebut dan
makin meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hokum antar
propinsi meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hokum perancis,
seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori
statute dan menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles Dumoulin memperluas
pengertian statuta personalia
hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai
hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam
teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta
realia menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada
hakekatnya kebebasan untuk memilih hokum adalah semacam status perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang
harus diperluas itu adalah statuta realia,
sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi
propinsi. Ia tetap mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang
menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hokum, akan tetapi:
1.
Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi
berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia).
2.
Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hokum (statute mixta) yang dilakukan di tempat
tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan dengan teritori atau
wilayah penguasa yang memberlaukan statuta itu.
F. Teori Statuta di Negeri Belanda (Abad 17)
Teori Argentre ternyata diikuti para
sarjana hokum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat itu
segi kedaulatan sangat ditekankan. Hokum yang dbuat Negara berlaku secara
mutlak di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut
teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif Negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik
Huber mengajkan tiga prisip dasar yang dapat digunakan untk menyeesaikan
perkara-perkara HPI sebgai berikut :
1.
Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak
hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja.
2.
Sremua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada
di dalam wilayah suatu Negara berdaulat harus menjadi subyek hokum dari Negara
itu.
3.
Berdasarkan alas an sopan santun antar Negara (asas
komitas=comity) diakui pula bahwa setiap pemeritah Negara yang berdaulat
mengakui bahwa hokum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap memiliki
kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan
subyek hokum dari Negara yang memberikan pengakuan itu.
Selanjutnya Urik Huber menegaskan
bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut harus pula diperhatikan prinsip
semua perbuatan/transakasi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hokum dari
suatu Negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain yang system hukumnya
sebenarnya mengganggap perbuatan/transaksi semacam itu batal. Tetapi
perbuatan/transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat tetentu yang menganggapnya
batal demi hokum juga dianggap batal dimanapun.
G. Teori-Teori Modern
Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya
usaha dari tiga orang pakar hokum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von
Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalh bahwa suatu
hububngan hokum yang sama harus member penyelesaian yang sama pula, baik bila
diputuskan oleh hakim Negara A maupun Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal
yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga
putusannya juga akan sama dimana-mana.
Satunya pergaukan internasional akan menimbulkan satu system
hokum supra nasional yaitu hokum perdata internasional. Oleh karena titik tolak
berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hokum supra nasional, oleh
karenanya bersifat universal maka ada yang menyebut piikiran Von Savigny ini
dengan istilah teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hokum asing bukan
semata-mata berdasarkan comitas, akan
tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya
bagi semua pihak (Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hokum personil seseorang
ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Machini menjadi dasar mazhab Italia
yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam
setiap system hokum yaitu :
a.
Kaidah hokum yang menyangkut kepentingan perseorangan
b.
Kaidah-kaidah hokum untuk melindungi dan menjaga ketertiban
umum
Berdasarkan pembagian ini
dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1.
Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi
setiap warga Negara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil).
2.
Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat
territorial dan berlaku bagi setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan
suatu Negara (prinsip terotorial).
3.
Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang
bersangkutan boleh memilih hokum manakah yang akan berlaku terhadap transakasi
diantara mereka (pilihan hokum).
Cita-cita Machini adalah mencapai
unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuaninternasional swedangkan Von Savigny
ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini,
belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hokum selama
ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan inipun bergantung pada
kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat
hokum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian
internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti
perjanjian-perjanjian HPI Den Haag.
Jangan lupa ya sebelum meninggalkan Blog ini, Tolong poskan komentarnya ya kawan...
BalasHapuspendapat ataupun sarannya, diharapkan nih :)