Sabtu, 07 April 2012

Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah


KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
 OTONOMI DAERAH




Oleh:
HENDRI SYAIFUL NUGRAHA
NPM : 10810823






FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2012




KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah dengan judul, “Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah”, dapat terselesaikan. Sholawat serta salam selalu terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat-sahabat-Nya yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke alam yang terang-menderang seperti sekarang ini.
Selama penyusunan makalah ini, bantuan dari berbagai pihak sangat besar sekali artinya bagi penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
  1. Bapak Drs. Ridwan. SH. MH., selaku  Dosen Hukum Otonomi Daerah.
  2. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa restu dan segalanya yang begitu berarti bagi penulis, sehingga terselesaikannya penyusunan makalah ini.
  3. Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yang tiada bosan-bosannya memberikan pendapat dan saran, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
  4. Semua lembaga dan orang-orang yang telah membantu dan memberikan semangat pada penulis, yang tidak dapat saya sebutkan  satu persatu.
Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah pengetahuan pembaca, tentang “Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah, yang keberadaannya di arahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kritik dan saran sangat dibutuhkan agar penyusunan makalah ini menjadi lebih baik.
                                                                          
                                                         Malang, 3 April 2012

                                                                     Penulis




DAFTAR ISI


HALAMAN COVER . ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I   PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
BAB II      PEMBAHASAN ............................................................................. 3
2.1 Maksud dan Tujuan dari Otonomi Daerah .............................................. 3
2.2 Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah ......................................... 4
BAB III     PENUTUP ...................................................................................... 7
3.1 Simpulan .................................................................................................... 7
3.2 Saran ......................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA






BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Ada dua ciri hakikat dari otonomi yakni  legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi daerah berarti  self government atau the condition of living under one’s own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu otonomi daerah menitik beratkan aspirasi daripada kondisi. Dari pemahaman tentang otonomi daerah tersebut, maka otonomi daerah pada hakikatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah: penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, maka hak itu dikembalikan kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan Pemerintah pusat.
Berbicara otonomi daerah berarti berbicara tentang suatu spekrtum yang luas, karena hampir semua bangsa di dunia ini menghendaki adanya otonomi, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan dari intervensi pihak lain. Karena itu akan keperluan otonomi bukan hanya sebatas pada pemerintah daerah saja, tetapi juga pemerintah negara. Keperluan adanya otonomi dalam negara dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu, karena keberadaan negara hanya dianggap sebagai instrument belaka dari kaum kapitalitas. Kondisi ini kemudian melahirkan konsepsi Marx tentang Instrumental State. Demikian halnya negara-negara social yang menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis) yang cendrung mengintervensi kehidupan negara. Dalam hubungan ini Negara menhendaki otonomi untuk memperkecil dan bahkan menghilangkan pengruh-pengaruh maupun intervensi kaum kapitalis atau sosialis.

Berbeda halnya dengan keperluan otonomi dalam pemerintahan lokal, yaitu untuk memperbesar kewengan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Karena itu keperluan otonomi pada tingkat lokal pada hakikatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat dalam urusan rumah yangga daerah. Dalam negara kesatuan otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah daerah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, yaitu otonomi daerah telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki oleh pemerintah federal pada hakikatnya adalah yang diserahkan oleh negara bagian.
Konstelasi tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecendrungan kewenangan yang besar berada di central government, sedangkan dalam negara federal kecendrungan kewenangan yang besar berada pada local government. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah dalam Negara kesatuan seperti Indonesia lebih banyak menggantungkan otonominya pada political will pemerintah pusat, yaitu sampai sejauhmana pemerintah pussat mempunyai niat baik untuk memperdayakan local government.melalui pemberian wewenagn yang lebig besar.
Dengan demkian hubungan ini dikenal adanya otonomi daerah yang terbatas dan otonomi daerah luas. Pada hakikatnya kedua bentuk otonomi tersebut hanya dibedakan oleh kewenangan yang dimiliki, yaitu untuk daerah yang memiliki otonomi terbatas hanya memiliki kewenangan yang relatif kecil, sedangkan daerah yang memiliki otonom yang laus cenderung memiliki kewenangan yang besar.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terkait dengan kelebihan dan kekurangan otonomi daerah, maka masalah yang timbul dirumuskan berikut ini:
1. Apa yang menjadi maksud dan tujuan dari otonomi daerah?
2. Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari otonomi daerah?





BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah, sebagai salah satu bentuk ‘desentralisasi’ pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kapentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang labih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih makmur. Pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian tugas-tugas.
Keberadaan pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka kesejahteraan rakyat, mengalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Maksud dan tujuan pemberian otonomi daerah secara tegas digariskan dalam GBHN adalah berorentasi pada pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan adalah pembangunan dalam arti luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan penghidupan. Adlah kewajiban bagi daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana mencapai kesejahteraan rakyat yang diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Berdasarkan pada ide yang hakiki dalam konsep otonomi daerah yang tercermin dalam kesamaan pendapat dan kesepakatan the founding fathers tentang perlunya desentralisasi dan otonomi daerah, ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerag setidak-tidaknya akan meliputi 4 aspek sebagai berikut:
1.      Dari segi politik adalah untuk mengikut sertakan, menyalukan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah.
2.      Dari segi menejemen pemerintahan, adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
3.      Dari segi kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha pemberdayaan (empowerment) masyarakat, sehingga masyarakat semakin mandiri, an tidak terlalu banyak tergantung  pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhanya.
4.      Dari segi ekomonomi pembangunan, adalah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.

2.2  Keuntungan dan Kekurangan Otonomi Daerah
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin perasaan diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da- erah sendiri.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai berikut ini.
a.       Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b.      Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
c.       Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
d.      Dengan adanya  desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
e.       Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f.       Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
g.      Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini.
a.       Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit koordinasi.
b.      Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
c.       Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya  apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
d.      Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
e.       Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.


 




BAB III
PENUTUP


Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, terkait dengan kelebihan dan kekurangan otonomi daerah, maka simpulan dapat diuraikan berikut ini.
1.      Pemberian kewenangan yang seharusnya diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintaah daerah (hubungan kewenangan) adalah sebagai konsekuensi logis untuk tercapainya maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah, serta untuk imbalan terhadap kewajiban dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerahnya.
2.      Kelebihan dan kekurangan dari Otonomi Daerah
a.       Kelebihan dari Otonomi Daerah
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya otonomi daerah para pelaksana tingkat daerah akan lebih mudah mengambil keputusan. Hal ini secara tidak langsung telah mendidik para pengambil keputusan pada tingkat bawah untuk bertanggung-jawab atas keputusan yang diambil. Selain itu, dengan adanya otonomi daerah akan terbangun kesadaran publik bahwa mereka memiliki pemerintahan dan bukan pemerintahan yang memiliki masyarakat, karena rakyat merupakan konsep kebangsaan, yaitu kedaulatannya berada di tangannya.
b.      Kekurangan dari Otonomi Daerah
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan di seputar otonomi daerah yang tidak kunjung selesai dan bahkan telah memunculkan ide beberapa daerah untuk melepaskan diri dari wilayah Indonesia. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dinilai kurang adil pembagiannya, karena ternyata daerah hanya memperoleh sebagian kecil dari potensi yang dimilikinya. Di sisi lain pemerintah daerah juga diperhadapkan pada  berbagai tantangan baik internal maupun eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain adalah lemahnya sumber daya aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat demokratis akan mewarnai perjalan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah diberhadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan mengglobal yang harus direspons oleh pemerintah daerah..

Saran
Berdasarkan bahasan pada paparan tersebut, adapun saran terhadap keuntungan dan kekurangan otonomi daerah, yaitu berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk keberhasilan otonomi daerah adalah perlu kepemimpinan yang kuat pada tingkat pertama dengan visi yang jelas. Selain itu otonomi daerah memerlukan profesionalisme dalam pemerintahan serta memerlukan solidaritas kolektif antara aparatur dengan sektor masyarakat, swasta maupun kelompok sosial budaya.
Selain itu di sisi lain, berbagai masalah dan tantangan tersebut tidak dapat dihindari oleh pemerintah daerah di Indonesia masa depan. Karena itu, agar menjaga pemerintah daerah tetap eksis dan survive dalam kompetisi global, maka tidak ada jalan lain selain harus melakukan reformasi. Reformasi pemerintah daerah dalam memasuki abad 21 mempunyai makna perubahan dan pembaruan atas berbagai kelemahan yang menimbulkan permasalahan-permasalahan masa lalu dan juga sebagai langkah antisipatif dalam menghadapi tuntutan perubahan global yang sarat dengan berbagai tantangan yang kesemuanya menunjukkan adanya arus balik kekuasaan pusat ke daerah. Karena itu, salah satu sasaran reformasi pemerintah daerah adalah untuk membentuk organisasi pemerintah daerah yang mampu menjawab permasalahan yang terjadi selama ini dan juga mampu memenuhi tuntutan perubahan global.




DAFTAR PUSTAKA

Marbun, BN. Otonomi Daerah 1945-2005. Jakarta: CV Muliasari, 2005.
Mughni, A. Syafig. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Papringan Yogyakarta, 2007.
Sarundajang, SH. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Widjaja, AW. Titik Berat Otonomi. Jakarta: CV Rajawali, 1992.

Senin, 02 April 2012

Sejarah Umum Perkembangan Hukum Perdata Internasional


TUGAS MAKALAH
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL





Oleh:
Hendri Syaiful Nugraha NPM: 10810823








FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH METRO
2011/2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Hukum Perdata Internasional mengenai “ Perkembangan HPI”, makalah ini di buat untuk memenuhi standar dalam mata kuliah Hukum Perdata Internasional. Penulis ucapkan terimakasih kepada:
1.      Ibu Intan, selaku dosen mata kuliah Hukum Perdata Internasional.
2.      Keluarga yang telah memberi dukungan dalam penyelesaian makalah ini.
3.      Temen-teman yang telah membantu dan memberikan idenya pada makalah ini.
Adapun saran yang membangun selalu penulis harapkan untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi bacaan yang bermanfaat.


Metro, 26 Maret 2012

Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTA……………………………………………..

DAFTAR ISI……………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………….

BAB III PENUTU ………………………………………………

KESIMPULAN………………………………………………….

SARAN...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................



















BAB I
PENDAHULUAN


A.          Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional

Didalam perkembangan sejarah HPI, tampaknya perdagangan (pada taraf  permulaan adalah pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkankaida-kaidah HPI. Pada jaman romawi kuno, segala persoalan yang timbul sebagai akibathubungan antara orang romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilankhusus yang disebut praetor peregrinos. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para civies Romawi,yaitu Ius Civile yangtelah disesuaikan dengan pergaulan internasional.Ius Civile yang telah diadaptasi untuk hubungan internasional yang kemudian disebut Ius Gentium. Ius Gentium juga memuatkaidah kaidah yang dapat dikategorikan kedalam Ius Privatum dan Ius Publicum. IusGentium yang menjadi bagian Ius privatum berkembang menjadi hukum perdatainternasional (HPI), sedangkan Ius Gentium yang menjadi bagian Ius Publicum telah berkembang menjadi hukum internasional politik.

Pada masa romawi perkembangan asas-asas yang dilandasi prinsip atau asas teretorial,yang dewasa ini dianggab sebagi asas HPI yang penting, misalnya:
1.      Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harusdiberlakukan atas suatu benda adalah huum dari tempat dimana benda tersebut beradaatau terletak.
2.      Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian(yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.
3.      Asas Lex Domicilli, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak sertakewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.

Di dalam prisip teretorial, hukum yang berlaku bersifat teretorial. Setiap wilayah(teritorial) memiliki hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang brlaku terhadapsemua orang atau benda yang berada diwilayah itu, dan perbuatan-perbuatan hukum yangdilakukan di wilayah itu.

B.     Latar Belakang Masalah

1.      Masa awal perkembangan HPI
2.      Pertumbuhan Asas Personal (Abad VI-IX Masehi)
3.      Pertumbuhan asas territorial (Abad IX-XII Masehi)
4.      Perkembangan teori statute di itali (Abad XII-XV Masehi)
5.      Teori statute di prancis (Abad XVI )
6.      Teori statute di negeri Belanda (Abad XVII)
7.      Teori-teori Modern


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Awal Perkembangan Hukum Perdata Internasional (HPI)
dalam sejarah perkembangan HPI, tampaknya perdagangan (pada tahap permulaan adalah pertukaran barang atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah HPI. Pada jaman romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang romawi dan pedagang asingdiselesaikan oleh hakim oengadilan khusus yang disebut praetor peregrinis. Hokum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hokum yang berlaku bagi para cives romawi, yaitu ius civile yang telah disesuaikan dengan pergaulan internasional. Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan internasional itu kemudian disebut Ius Gentium.
Sebagaimana halnya ius civile, Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius Gentium yang menjadi bagian ius privatum berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius Gentium yang menjadi bagian ius publicum telah berkembang menjadi hokum internasional publik atau territorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya :
a.       Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari temapt benda tersebut berada.
b.      Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat pembutan perjanjian.
c.       Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prinsip territorial, hukum yang berlaku bersifat territorial. Setiap wilayah memiliki hukumnya sendiri dan hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau benda yang berada di wilayah itu dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.




B.     Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad 6-10 M)
Pada akhir abad 6M kekaisaran romawi ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa. Bekas wilayah kekaisaran romawi diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara geneologis. Kedudukan ius civile menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap memberlakukan hokum personal, hokum keluarga serta hokum agamanya masing-masing di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip territorial telah berubah menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hokum yang berlaku digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Sehingga dalam wilayah tertentu mungkin akan berlaku beberapa hokum sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut dua suku bangsa yang berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah hokum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hokum mana yang akan diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada masa tersebut yang dewasa ni dapat dikategorikan sebagai asas HPI (yang berasa personal), misalnya:
a.       Asas yang menetapkan bahwa hokum yang berlaku dalam suatu perkara adalah hokum personal dari pihak tergugat.
b.      Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan perbuatan hokum seseorang ditentukan oleh hokum personal orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hokum personal dari masing-masing pihak.
c.       Asa yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur berdasarkan hokum personal si pewaris.
d.      Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hokum personal sang suami.







C.     Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad 11-12 M
Dikawasan Eropa Utara terjadi peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat territorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris, Prancis, dan Jerman sekarang. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hokum mereka sendiri terhadap semua orang dan semua hubungan hokum yang berlangsung diwilayahnya. Dengan perkataan lain tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut penguasa, sehingga dalam keadaan demikian HPI tidak berkembang sama sekali.  Di kawasan Eropa bagian selatan transformasi dari asa personal genealogis ke asa territorial berlangsung bersamaan dengan pertumubuhan pusat-pusat perdagangan khususnya di Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah genealogis atau feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu antara lain Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan :
1.      Batas-batas territorial sendiri.
2.      System hokum local sendiri yang berlainnya satu dengan yang lainnya dan berbeda pula dengan hokum romawi dan Lombardi yang berlaku umum di seluruh Italia.

D.    Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15M)
Seiring makin berkembangnya perdagangan antara warga kota-kota di Italia, penerapan asa territorial tidak dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.
System feodal memandang hanya peraturan-peraturan hokum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu hokum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat dipertahankan lagi apabila hak-hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak yang dibuat di kota A akan dikesampingkan di kota B.
Situasi ini mendorong para ahli hokum di universitas-universitas di Italia untuk mencari asas-asa hokum yang dianggap lebih adil dan wajar. Usaha yang dilakukan adalah dengan membuat tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dala hokum romawi. Mereka inilah yng termasuk golongan postglossatoren.
Dalam mencari dasar hokum yang baru untuk mengatur hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang tunduk pada system hokum yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus iuris dai Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata cuntos popules ques clementiae nostrae regit imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks codex tersebut ditemukan Glosse Accursius (1128) yang pada pokoknya menyatakan : “ apabila seseorang warga bologna digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status dari Modena dari kota mana ia bukan merupakan warga oleh karena dalam Undang-Undang Contos Popolos telah ditentukan … ques nostrae clementiae regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (1314-1357). Bartolus menghububgkan statuta personalia dengan lex originis dan statute realia dengan kekuasaan territorial hokum itu. Ia membedakan statuta ke dalam statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu.
·         Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun dia berada.
·         Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa secara terotorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk undang-undang tunduk di bawah  statuta- statutanya.
·         Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang diadakan di tempat berlakunya Statuta itu denga segala akibat hukumnya. Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatur menurut Statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.
Berdasarkan doktrin Statuta tersebut kemudian dikembangkan metode berfikir HPI sebagai berikut :
1.      Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan status benda, maka kedudukan hokum benda itu harus diatur berdasarkan statuta realia dari tempat diman benada itu berada. Dalam perkembanganya, cara berfikir realia semacam ini hanya berlaku terhadap benda tetap saja sedang terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.
2.      Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statute personlia dari tempat diman orang tersebut berkediaman tetap (lex domicilii).
3.      Apabila persoalan HPI ysng dihadapi berkenaan dengan bentuk dan atu akibat dari suatu perbuatan hokum, maka bentuk dan akibat perbuatan hokum itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta dari tempat dimana perbuatan itu dilakukan.

E.     Teori Statuta di Perancis (Abad 16)
Pada abad ke-16 propinsi-propinsi di peramcis memiliki hokum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada keanekaragaman coutume tersebut dan makin meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hokum antar propinsi meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hokum perancis, seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori statute dan menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta  personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta realia menurut  Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada hakekatnya kebebasan untuk memilih hokum adalah semacam status perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang harus diperluas itu adalah statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi propinsi. Ia tetap mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hokum, akan tetapi:
1.      Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia).
2.      Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hokum (statute mixta) yang dilakukan di tempat tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan dengan teritori atau wilayah penguasa yang memberlaukan statuta  itu.

F.     Teori Statuta di Negeri Belanda (Abad 17)
Teori Argentre ternyata diikuti para sarjana hokum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat itu segi kedaulatan sangat ditekankan. Hokum yang dbuat Negara berlaku secara mutlak di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif Negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik Huber mengajkan tiga prisip dasar yang dapat digunakan untk menyeesaikan perkara-perkara HPI sebgai berikut :
1.      Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja.
2.      Sremua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada di dalam wilayah suatu Negara berdaulat harus menjadi subyek hokum dari Negara itu.
3.      Berdasarkan alas an sopan santun antar Negara (asas komitas=comity) diakui pula bahwa setiap pemeritah Negara yang berdaulat mengakui bahwa hokum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan subyek hokum dari Negara yang memberikan pengakuan itu.
Selanjutnya Urik Huber menegaskan bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut harus pula diperhatikan prinsip semua perbuatan/transakasi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hokum dari suatu Negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain yang system hukumnya sebenarnya mengganggap perbuatan/transaksi semacam itu batal. Tetapi perbuatan/transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat tetentu yang menganggapnya batal demi hokum juga dianggap batal dimanapun.

G.    Teori-Teori Modern
Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar hokum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalh bahwa suatu hububngan hokum yang sama harus member penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim Negara A maupun Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana.
Satunya pergaukan internasional akan menimbulkan satu system hokum supra nasional yaitu hokum perdata internasional. Oleh karena titik tolak berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hokum supra nasional, oleh karenanya bersifat universal maka ada yang menyebut piikiran Von Savigny ini dengan istilah teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hokum asing bukan semata-mata berdasarkan comitas, akan tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya bagi semua pihak (Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hokum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Machini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam setiap system hokum yaitu :
a.       Kaidah hokum yang menyangkut kepentingan perseorangan
b.      Kaidah-kaidah hokum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum
Berdasarkan pembagian ini dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1.      Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warga Negara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil).
2.      Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat territorial dan berlaku bagi setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu Negara (prinsip terotorial).
3.      Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih hokum manakah yang akan berlaku terhadap transakasi diantara mereka (pilihan hokum).
Cita-cita Machini adalah mencapai unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuaninternasional swedangkan Von Savigny ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hokum selama ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan inipun bergantung pada kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat hokum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti perjanjian-perjanjian HPI Den Haag.