Ilmu Hukum
Sabtu, 21 Juni 2014
Sabtu, 07 April 2012
Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah
KELEBIHAN
DAN KEKURANGAN
OTONOMI
DAERAH
Oleh:
HENDRI SYAIFUL NUGRAHA
NPM : 10810823
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
2012
KATA
PENGANTAR
Dengan
mengucap syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga makalah dengan judul, “Kelebihan dan
Kekurangan Otonomi Daerah”, dapat terselesaikan. Sholawat serta salam selalu
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta sahabat-sahabat-Nya yang
telah membawa kita dari zaman jahiliah ke alam yang terang-menderang seperti
sekarang ini.
Selama
penyusunan makalah ini, bantuan dari berbagai pihak sangat besar sekali artinya
bagi penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
- Bapak Drs. Ridwan. SH. MH., selaku Dosen Hukum Otonomi Daerah.
- Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberikan doa restu dan segalanya yang begitu berarti bagi penulis, sehingga terselesaikannya penyusunan makalah ini.
- Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, yang tiada bosan-bosannya memberikan pendapat dan saran, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
- Semua lembaga dan orang-orang yang telah membantu dan memberikan semangat pada penulis, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah pengetahuan pembaca, tentang “Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah,
yang keberadaannya di arahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kritik dan saran
sangat dibutuhkan agar penyusunan makalah ini menjadi lebih baik.
Malang,
3 April 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
COVER . ......................................................................................
i
KATA
PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR
ISI .....................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1
Latar Belakang
......................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
............................................................................. 3
2.1
Maksud dan Tujuan dari Otonomi Daerah .............................................. 3
2.2
Kelebihan dan Kekurangan Otonomi Daerah ......................................... 4
BAB
III PENUTUP
...................................................................................... 7
3.1
Simpulan ....................................................................................................
7
3.2
Saran
......................................................................................................... 8
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi
atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Ada dua ciri
hakikat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual
independence. Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan, otonomi
daerah berarti self government atau the condition of living
under one’s own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal
self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan
diurus oleh own laws. Karena itu otonomi daerah menitik beratkan aspirasi
daripada kondisi. Dari pemahaman tentang otonomi daerah tersebut, maka otonomi
daerah pada hakikatnya adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu
daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan
pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah. Istilah sendiri dalam hak
mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah:
penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri, maka hak itu dikembalikan
kepada pihak yang memberi, dan berubah kembali menjadi urusan Pemerintah pusat.
Berbicara
otonomi daerah berarti berbicara tentang suatu spekrtum yang luas, karena
hampir semua bangsa di dunia ini menghendaki adanya otonomi, yaitu hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa adanya campur tangan dari
intervensi pihak lain. Karena itu akan keperluan otonomi bukan hanya sebatas
pada pemerintah daerah saja, tetapi juga pemerintah negara. Keperluan adanya
otonomi dalam negara dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu, karena keberadaan
negara hanya dianggap sebagai instrument belaka dari kaum kapitalitas. Kondisi
ini kemudian melahirkan konsepsi Marx tentang Instrumental State. Demikian
halnya negara-negara social yang menghendaki adanya otonomi dari pengaruh
partai politik (partai komunis) yang cendrung mengintervensi kehidupan negara.
Dalam hubungan ini Negara menhendaki otonomi untuk memperkecil dan bahkan
menghilangkan pengruh-pengaruh maupun intervensi kaum kapitalis atau sosialis.
Berbeda
halnya dengan keperluan otonomi dalam pemerintahan lokal, yaitu untuk
memperbesar kewengan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Karena
itu keperluan otonomi pada tingkat lokal pada hakikatnya adalah untuk
memperkecil intervensi pemerintah pusat dalam urusan rumah yangga daerah. Dalam
negara kesatuan otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah daerah pusat,
sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.
Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal, yaitu otonomi daerah
telah melekat pada negara-negara bagian, sehingga urusan yang dimiliki oleh
pemerintah federal pada hakikatnya adalah yang diserahkan oleh negara bagian.
Konstelasi
tersebut menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan kecendrungan kewenangan yang
besar berada di central government, sedangkan dalam negara federal
kecendrungan kewenangan yang besar berada pada local government. Hal ini
menyebabkan pemerintah daerah dalam Negara kesatuan seperti Indonesia lebih
banyak menggantungkan otonominya pada political will pemerintah pusat,
yaitu sampai sejauhmana pemerintah pussat mempunyai niat baik untuk
memperdayakan local government.melalui pemberian wewenagn yang lebig
besar.
Dengan
demkian hubungan ini dikenal adanya otonomi daerah yang terbatas dan otonomi
daerah luas. Pada hakikatnya kedua bentuk otonomi tersebut hanya dibedakan oleh
kewenangan yang dimiliki, yaitu untuk daerah yang memiliki otonomi terbatas
hanya memiliki kewenangan yang relatif kecil, sedangkan daerah yang memiliki
otonom yang laus cenderung memiliki kewenangan yang besar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terkait dengan
kelebihan dan kekurangan otonomi daerah, maka masalah yang timbul dirumuskan
berikut ini:
1. Apa yang menjadi maksud dan tujuan dari otonomi daerah?
2. Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari otonomi daerah?
1. Apa yang menjadi maksud dan tujuan dari otonomi daerah?
2. Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari otonomi daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi
daerah, sebagai salah satu bentuk ‘desentralisasi’ pemerintahan, pada
hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kapentingan bangsa secara keseluruhan,
yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan
untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang labih baik, suatu masyarakat yang
lebih adil dan lebih makmur. Pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian
tugas-tugas.
Keberadaan
pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya dalam rangka kesejahteraan rakyat, mengalakkan prakarsa dan
peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara
optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi
dan bertanggung jawab, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Maksud
dan tujuan pemberian otonomi daerah secara tegas digariskan dalam GBHN adalah
berorentasi pada pembangunan. Yang dimaksud dengan pembangunan adalah
pembangunan dalam arti luas, yang meliputi segala segi kehidupan dan
penghidupan. Adlah kewajiban bagi daerah untuk ikut melancarkan jalannya
pembangunan sebagai sarana mencapai kesejahteraan rakyat yang diterima dan
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Berdasarkan
pada ide yang hakiki dalam konsep otonomi daerah yang tercermin dalam kesamaan
pendapat dan kesepakatan the founding fathers tentang perlunya
desentralisasi dan otonomi daerah, ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi
kepada daerag setidak-tidaknya akan meliputi 4 aspek sebagai berikut:
1. Dari segi politik adalah untuk
mengikut sertakan, menyalukan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk
kepentingan daerah sendiri, maupun untuk mendukung politik dan kebijaksanaan
nasional dalam rangka pembangunan dalam proses demokrasi di lapisan bawah.
2. Dari segi menejemen pemerintahan,
adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan
memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
3. Dari segi kemasyarakatan, untuk
meningkatkan partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan
melakukan usaha pemberdayaan (empowerment) masyarakat, sehingga
masyarakat semakin mandiri, an tidak terlalu banyak tergantung pada
pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses
penumbuhanya.
4. Dari segi ekomonomi pembangunan,
adalah untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya
kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.
2.2 Keuntungan dan Kekurangan Otonomi
Daerah
Pada
prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah
pusat. Dalam proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan
dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga
terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di
seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan
bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya
kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya,
yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan
otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting, terutama
untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan
sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan
oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam
hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin perasaan diberlakukan
tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak makin meluas dan
terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional,
maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu
yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da- erah sendiri.
Dengan
demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya
menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga
diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandiriaan pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan
keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat Indonesia
yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan
berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun
keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa
keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai berikut
ini.
a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di
pusat pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah yang amat
mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak perlu
menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
c. Dalam sistem desentralisasi, dpat
diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna
bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial, dapat lebih
muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
d. Dengan adanya desentralisasi
territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal
yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh
negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara,
sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan
oleh karena itu dapat lebih muda untuk diadakan.
e. Mengurangi kemungkinan
kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f. Dari segi psikolagis, desentralisasi
dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang lebuh beser kepada daerah.
g. Akan memperbaiki kualitas pelayanan
karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di
atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu
Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini.
a. Karena besarnya organ-organ
pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks, yang mempersulit
koordinasi.
b. Keseimbangan dan keserasian antara
bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.
c. Khusus mengenai desentralisasi
teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau
provinsialisme.
d. Keputusan yang diambil memerlukan
waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele.
e. Dalam penyelenggaraan
desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh
keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, terkait dengan kelebihan dan kekurangan
otonomi daerah, maka simpulan dapat diuraikan berikut ini.
1. Pemberian kewenangan yang seharusnya
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintaah daerah (hubungan kewenangan)
adalah sebagai konsekuensi logis untuk tercapainya maksud dan tujuan pemberian
otonomi kepada daerah, serta untuk imbalan terhadap kewajiban dan tanggung
jawab pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerahnya.
2. Kelebihan dan kekurangan dari Otonomi
Daerah
a. Kelebihan dari Otonomi Daerah
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya otonomi daerah para pelaksana
tingkat daerah akan lebih mudah mengambil keputusan. Hal ini secara tidak
langsung telah mendidik para pengambil keputusan pada tingkat bawah untuk
bertanggung-jawab atas keputusan yang diambil. Selain itu, dengan adanya
otonomi daerah akan terbangun kesadaran publik bahwa mereka memiliki
pemerintahan dan bukan pemerintahan yang memiliki masyarakat, karena rakyat merupakan
konsep kebangsaan, yaitu kedaulatannya berada di tangannya.
b. Kekurangan dari Otonomi Daerah
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa permasalahan di seputar otonomi daerah yang
tidak kunjung selesai dan bahkan telah memunculkan ide beberapa daerah untuk
melepaskan diri dari wilayah Indonesia. Perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah dinilai kurang adil pembagiannya, karena ternyata daerah hanya
memperoleh sebagian kecil dari potensi yang dimilikinya. Di sisi lain
pemerintah daerah juga diperhadapkan pada berbagai tantangan baik
internal maupun eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah
antara lain adalah lemahnya sumber daya aparatur pemerintah daerah, sementara
masyarakat telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga tuntutan
terhadap pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat demokratis akan mewarnai
perjalan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal pemerintah daerah
diberhadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan mengglobal yang harus
direspons oleh pemerintah daerah..
Saran
Berdasarkan
bahasan pada paparan tersebut, adapun saran terhadap keuntungan dan kekurangan
otonomi daerah, yaitu berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk
keberhasilan otonomi daerah adalah perlu kepemimpinan yang kuat pada tingkat
pertama dengan visi yang jelas. Selain itu otonomi daerah memerlukan
profesionalisme dalam pemerintahan serta memerlukan solidaritas kolektif antara
aparatur dengan sektor masyarakat, swasta maupun kelompok sosial budaya.
Selain
itu di sisi lain, berbagai masalah dan tantangan tersebut tidak dapat dihindari
oleh pemerintah daerah di Indonesia masa depan. Karena itu, agar menjaga
pemerintah daerah tetap eksis dan survive dalam kompetisi global, maka tidak
ada jalan lain selain harus melakukan reformasi. Reformasi pemerintah daerah
dalam memasuki abad 21 mempunyai makna perubahan dan pembaruan atas berbagai
kelemahan yang menimbulkan permasalahan-permasalahan masa lalu dan juga sebagai
langkah antisipatif dalam menghadapi tuntutan perubahan global yang sarat
dengan berbagai tantangan yang kesemuanya menunjukkan adanya arus balik
kekuasaan pusat ke daerah. Karena itu, salah satu sasaran reformasi pemerintah
daerah adalah untuk membentuk organisasi pemerintah daerah yang mampu menjawab
permasalahan yang terjadi selama ini dan juga mampu memenuhi tuntutan perubahan
global.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, BN. Otonomi Daerah 1945-2005. Jakarta:
CV Muliasari, 2005.
Mughni, A. Syafig. Pendidikan Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Papringan Yogyakarta, 2007.
Sarundajang, SH. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke
Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Widjaja, AW. Titik Berat Otonomi. Jakarta: CV
Rajawali, 1992.
Senin, 02 April 2012
Sejarah Umum Perkembangan Hukum Perdata Internasional
TUGAS MAKALAH
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Oleh:
Hendri Syaiful Nugraha NPM: 10810823
Hendri Syaiful Nugraha NPM: 10810823
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH METRO
2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Hukum Perdata
Internasional
mengenai “ Perkembangan HPI”, makalah ini di buat untuk memenuhi standar dalam mata kuliah Hukum
Perdata Internasional. Penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Intan, selaku dosen mata kuliah
Hukum Perdata Internasional.
2. Keluarga yang telah memberi
dukungan dalam penyelesaian makalah ini.
3. Temen-teman yang telah
membantu dan memberikan idenya pada makalah ini.
Adapun saran yang membangun selalu penulis harapkan
untuk memperbaiki kesalahan yang terdapat dalam pembuatan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat
menjadi bacaan yang bermanfaat.
Penulis
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTA……………………………………………..
DAFTAR
ISI……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN ………………………………………
BAB II
PEMBAHASAN ……………………………………….
BAB III
PENUTU ………………………………………………
KESIMPULAN………………………………………………….
SARAN...........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Awal
Perkembangan Hukum Perdata Internasional
Didalam perkembangan sejarah HPI,
tampaknya perdagangan (pada taraf permulaan adalah pertukaran barang
atau barter) dengan orang asinglah yang melahirkankaida-kaidah HPI. Pada jaman
romawi kuno, segala persoalan yang timbul sebagai akibathubungan antara orang
romawi dan pedagang asing diselesaikan oleh hakim pengadilankhusus yang disebut
praetor peregrinos. Hukum yang digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya
adalah hukum yang berlaku bagi para civies Romawi,yaitu Ius Civile yangtelah
disesuaikan dengan pergaulan internasional.Ius Civile yang telah diadaptasi
untuk hubungan internasional yang kemudian disebut Ius Gentium. Ius
Gentium juga memuatkaidah kaidah yang dapat dikategorikan kedalam Ius Privatum
dan Ius Publicum. IusGentium yang menjadi bagian Ius privatum berkembang
menjadi hukum perdatainternasional (HPI), sedangkan Ius Gentium yang menjadi
bagian Ius Publicum telah berkembang menjadi hukum internasional politik.
Pada masa romawi perkembangan asas-asas yang dilandasi
prinsip atau asas teretorial,yang dewasa ini dianggab sebagi asas HPI yang
penting, misalnya:
1. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang
menyatakan bahwa hukum yang harusdiberlakukan atas suatu benda adalah huum dari
tempat dimana benda tersebut beradaatau terletak.
2. Asas Lex Loci Contractus, yang
menyatakan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian(yang bersifat HPI) berlaku
kaidah-kaidah hukum dari tempat pembuatan perjanjian.
3. Asas Lex Domicilli, yang menyatakan
bahwa hukum yang mengatur hak sertakewajiban perorangan adalah hukum dari
tempat seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prisip teretorial, hukum yang berlaku bersifat teretorial. Setiap wilayah(teritorial) memiliki hukumnya sendiri, dan hanya ada satu hukum yang brlaku terhadapsemua orang atau benda yang berada diwilayah itu, dan perbuatan-perbuatan hukum yangdilakukan di wilayah itu.
B. Latar Belakang Masalah
1. Masa awal perkembangan HPI
2. Pertumbuhan Asas Personal (Abad
VI-IX Masehi)
3. Pertumbuhan asas territorial (Abad
IX-XII Masehi)
4. Perkembangan teori statute di itali
(Abad XII-XV Masehi)
5. Teori statute di prancis (Abad XVI )
6. Teori statute di negeri Belanda
(Abad XVII)
7. Teori-teori Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Awal Perkembangan Hukum Perdata
Internasional (HPI)
dalam sejarah perkembangan HPI,
tampaknya perdagangan (pada tahap permulaan adalah pertukaran barang atau
barter) dengan orang asinglah yang melahirkan kaidah-kaidah HPI. Pada jaman
romawi kuno segala persoalan yang timbul sebagai akibat hubungan antara orang
romawi dan pedagang asingdiselesaikan oleh hakim oengadilan khusus yang disebut
praetor peregrinis. Hokum yang
digunakan oleh hakim tersebut pada dasarnya adalah hokum yang berlaku bagi para
cives romawi, yaitu ius civile yang telah disesuaikan
dengan pergaulan internasional. Ius
civile yang telah diadaptasi untuk hubungan internasional itu kemudian
disebut Ius Gentium.
Sebagaimana halnya ius civile, Ius Gentium juga memuat kaidah-kaidah yang dikatagorikan ke dalam ius privatum dan ius publicum. Ius Gentium
yang menjadi bagian ius privatum
berkembang menjadi HPI. Sedangkan Ius
Gentium yang menjadi bagian ius
publicum telah berkembang menjadi hokum internasional publik atau
territorial, yang dewasa ini dianggap sebagai asas HPI yang penting, misalnya :
a.
Asas Lex Rei Sitae
(Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum yang harus diberlakukan atas suatu
benda adalah hukum dari temapt benda tersebut berada.
b. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap
perjanjian-perjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah hukum dari
tempat pembutan perjanjian.
c. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang mengatur hak serta
kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang berkediaman tetap.
Di dalam prinsip territorial, hukum
yang berlaku bersifat territorial. Setiap wilayah memiliki hukumnya sendiri dan
hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap semua orang atau benda yang berada
di wilayah itu dan perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan di wilayah itu.
B.
Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad
6-10 M)
Pada akhir abad 6M kekaisaran romawi
ditaklukkan bangsa “barbar” dari Eropa. Bekas wilayah kekaisaran romawi
diduduki berbagai suku bangsa yang satu dengan yang lainnya berbeda secara
geneologis. Kedudukan ius civile
menjadi kurang penting, karena masing-masing suku bangsa tersebut tetap
memberlakukan hokum personal, hokum keluarga serta hokum agamanya masing-masing
di daerah yang didudukinya. Dengan demikian prinsip territorial telah berubah
menjadi prinsip personal. Di dalam prinsip personal hokum yang berlaku
digantungkan pada pribadi yang bersangkutan. Sehingga dalam wilayah tertentu
mungkin akan berlaku beberapa hokum sekaligus.
Dalam menyelesaikan sengketa yang
menyangkut dua suku bangsa yang berbeda biasanya ditentukan dulu kaidah-kaidah
hokum (adat) masing-masing suku, barulah ditetapkan hokum mana yang akan
diberlakukan.
Beberapa asas HPI yang tumbuh pada
masa tersebut yang dewasa ni dapat dikategorikan sebagai asas HPI (yang berasa
personal), misalnya:
a.
Asas yang menetapkan bahwa hokum yang berlaku dalam suatu
perkara adalah hokum personal dari pihak tergugat.
b.
Asas yang menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan
perbuatan hokum seseorang ditentukan oleh hokum personal orang tersebut.
Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus ditentukan oleh hokum
personal dari masing-masing pihak.
c.
Asa yang menyatakan bahwa masalah pewarisan harus diatur
berdasarkan hokum personal si pewaris.
d.
Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan
hokum personal sang suami.
C. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad
11-12 M
Dikawasan Eropa Utara terjadi
peralihan struktur masyarakat geneologis ke masyarakat territorial tampak dari
tumbuhnya unit-unit masyarakat yang feodalistis, khususnya di wilayah Inggris,
Prancis, dan Jerman sekarang. Semakin banyak tuan tanah (landlords) yang berkuasa dan memberlakukan hokum mereka sendiri
terhadap semua orang dan semua hubungan hokum yang berlangsung diwilayahnya.
Dengan perkataan lain tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing. Hak-hak yang
dimiliki orang asing dapat begitu saja dicabut penguasa, sehingga dalam keadaan
demikian HPI tidak berkembang sama sekali. Di kawasan Eropa bagian
selatan transformasi dari asa personal genealogis ke asa territorial
berlangsung bersamaan dengan pertumubuhan pusat-pusat perdagangan khususnya di
Italia. Dasar ikatan antar manusia di sini bukanlah genealogis atau feodalisme,
melainkan tempat tinggal yang sama. Kota-kota perdagangan yang tumbuh pesat itu
antara lain Florence, Pisa, Peruggia, Venetia, Milan, Padua, dan Genoa. Kota-kota
tersebut merupakan kota perdagangan yang otonom dengan :
1.
Batas-batas territorial sendiri.
2.
System hokum local sendiri yang berlainnya satu dengan yang
lainnya dan berbeda pula dengan hokum romawi dan Lombardi yang berlaku umum di
seluruh Italia.
D. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad 13-15M)
Seiring makin berkembangnya
perdagangan antara warga kota-kota di Italia, penerapan asa territorial tidak
dapat dipertahankan lagi dan perlu peninjauan kembali.
System feodal memandang hanya
peraturan-peraturan hokum yang dikeluarkan penguasa yang harus diberlakukan
atas semua benda atau kontrak yang dilangsungkan di wilayahnya. Selain itu
hokum masing-masing kota di Italia itu berlainan. Tentunya tidak dapat
dipertahankan lagi apabila hak-hak yang telah diperoleh atau kontrak-kontrak
yang dibuat di kota A akan dikesampingkan di kota B.
Situasi ini mendorong para ahli
hokum di universitas-universitas di Italia untuk mencari asas-asa hokum yang
dianggap lebih adil dan wajar. Usaha yang dilakukan adalah dengan membuat
tafsiran baru dan menyempurnakan kaidah-kaidah yang tertulis dala hokum romawi.
Mereka inilah yng termasuk golongan postglossatoren.
Dalam mencari dasar hokum yang baru
untuk mengatur hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang tunduk pada system hokum
yang berbeda, kelompok ini mengacu kepada corpus
iuris dai Justianus. Mereka menemukan suatu kaidah yang dimulai dengan kata
cuntos popules ques clementiae nostrae
regit imperium (semua bangsa di bawah kekuasaan kami).
Di dalam teks codex tersebut ditemukan
Glosse Accursius (1128) yang pada pokoknya menyatakan : “ apabila seseorang warga bologna
digugat di Modena, maka ia janganlah diadili menurut status dari Modena dari
kota mana ia bukan merupakan warga oleh karena dalam Undang-Undang Contos Popolos telah ditentukan … ques nostrae clementiae regit imperium.”
Doktrin yang telah dikemukakan
Accursius kemudian dikembangkan oleh Bartolus De Sassoferrato (1314-1357).
Bartolus menghububgkan statuta personalia dengan lex originis dan statute
realia dengan kekuasaan territorial hokum itu. Ia membedakan statuta ke dalam
statua yang mengijinkan sesuatu dan yang melarang sesuatu.
·
Statuta personalia, statuta yang mempunyai lingkungan kuasa
berlaku secara personal. Bahwa statuta itu mengikuti orang (person) dimanapun
dia berada.
·
Statuta realia, Statuta yang mempunyai lingkungan kuasa
secara terotorial. Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah pembentuk
undang-undang tunduk di bawah statuta- statutanya.
·
Statuta mixta, yang berlaku bagi semua perjanjian yang
diadakan di tempat berlakunya Statuta itu denga segala akibat hukumnya.
Sedangkan mengenai wanprestasi dengan segala akibat hukumnya diatur menurut
Statuta di tempat perjanjian itu seharusnya dilaksanakan.
Berdasarkan doktrin Statuta tersebut
kemudian dikembangkan metode berfikir HPI sebagai berikut :
1.
Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut persoalan
status benda, maka kedudukan hokum benda itu harus diatur berdasarkan statuta
realia dari tempat diman benada itu berada. Dalam perkembanganya, cara berfikir
realia semacam ini hanya berlaku
terhadap benda tetap saja sedang terhadap benda bergerak berlaku asas mobilia sequntuur personam.
2.
Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan status
personal, maka status personal orang tersebut harus diatur berdasarkan statute
personlia dari tempat diman orang tersebut berkediaman tetap (lex domicilii).
3.
Apabila persoalan HPI ysng dihadapi berkenaan dengan bentuk
dan atu akibat dari suatu perbuatan hokum, maka bentuk dan akibat perbuatan
hokum itu harus tunduk pada kaidah-kaidah mixta
dari tempat dimana perbuatan itu dilakukan.
E. Teori Statuta di Perancis (Abad 16)
Pada abad ke-16 propinsi-propinsi di
peramcis memiliki hokum tersendiri yang disebut coutume, yang pada hakekatnya sama dengan statuta. Karena ada
keanekaragaman coutume tersebut dan
makin meningkatnya perdagangan antar propinsi, maka konflik hokum antar
propinsi meningkat pula. Dalam keadaan demikian beberapa ahli hokum perancis,
seperti Charles Dumoulin dan Bertrand D’Argentre berusaha mendalami teori
statute dan menerapkannya di perancis dengan beberapa modifikasi.
Charles Dumoulin memperluas
pengertian statuta personalia
hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang dikehendaki oleh para pihak) sebagai
hukum yang seharusnya berlaku dalam perjanjian. Jadi perjanjian yang dalam
teori statuta dari Bartolus masuk dalam statuta
realia menurut Charles Dumoulin harus masuk dalam ruang lingkup statuta personalia, karena pada
hakekatnya kebebasan untuk memilih hokum adalah semacam status perseorangan.
Menurut Bertrand D’Argentre yang
harus diperluas itu adalah statuta realia,
sehingga yang diutamakan bukanlah otonomi para pihak melainkan otonomi
propinsi. Ia tetap mengakui ada statuta yang benar-benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang
menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan hokum, akan tetapi:
1.
Ada statuta yang dimaksudkan ntuk mengatur orang, tetapi
berkaitan dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia).
2.
Ada pula statuta yang mengatur perbuatan-perbuatan hokum (statute mixta) yang dilakukan di tempat
tertentu . statuta semacam itu harus dianggap sebagai statuta realia, karena isinya berkaitan dengan dengan teritori atau
wilayah penguasa yang memberlaukan statuta itu.
F. Teori Statuta di Negeri Belanda (Abad 17)
Teori Argentre ternyata diikuti para
sarjana hokum Belanda setelah pembebasan dari penjajahan Spanyol. Pada saat itu
segi kedaulatan sangat ditekankan. Hokum yang dbuat Negara berlaku secara
mutlak di dalam wilayah Negara tersebut. Prinsip dasar yang digunakan penganut
teori statuta di negeri belanda adalah kedaulatan eksklusif Negara.
Berdasarkan ajaran D’Argentre, Ulrik
Huber mengajkan tiga prisip dasar yang dapat digunakan untk menyeesaikan
perkara-perkara HPI sebgai berikut :
1.
Hukum dari suatu Negara mempunyai daya berlaku yang mutlak
hanya di dalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja.
2.
Sremua orang baik yang menetap maupun sementara yang berada
di dalam wilayah suatu Negara berdaulat harus menjadi subyek hokum dari Negara
itu.
3.
Berdasarkan alas an sopan santun antar Negara (asas
komitas=comity) diakui pula bahwa setiap pemeritah Negara yang berdaulat
mengakui bahwa hokum yang sudah berlaku di Negara asalnya akan tetap memiliki
kekuatan berlaku dimana-mana sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan
subyek hokum dari Negara yang memberikan pengakuan itu.
Selanjutnya Urik Huber menegaskan
bahwa dalam menafsirkan ketiga hal tersebut harus pula diperhatikan prinsip
semua perbuatan/transakasi yuridis yang dianggap sah berdasarkan hokum dari
suatu Negara tertentu, akan diakui sah pula ditempat lain yang system hukumnya
sebenarnya mengganggap perbuatan/transaksi semacam itu batal. Tetapi
perbuatan/transaksi yang dilaksanakan disuatu tempat tetentu yang menganggapnya
batal demi hokum juga dianggap batal dimanapun.
G. Teori-Teori Modern
Pada abad ke-19 pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya
usaha dari tiga orang pakar hokum yaitu Joseph Story, Friedrich Carl Von
Savigny, dan Pasquae Manchini.
Titik tolak pandangan Von Savigny adalh bahwa suatu
hububngan hokum yang sama harus member penyelesaian yang sama pula, baik bila
diputuskan oleh hakim Negara A maupun Negara B. Maka, penyelesaian soal-soal
yang menyangkut unsur-unsur asingpun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga
putusannya juga akan sama dimana-mana.
Satunya pergaukan internasional akan menimbulkan satu system
hokum supra nasional yaitu hokum perdata internasional. Oleh karena titik tolak
berfikir Von Savigny adalah bahwa HPI itu bersifat hokum supra nasional, oleh
karenanya bersifat universal maka ada yang menyebut piikiran Von Savigny ini
dengan istilah teori HPI universal.
Menurut Von Savigny pengakuan terhadap hokum asing bukan
semata-mata berdasarkan comitas, akan
tetapi berpokok pangkal pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang dipenuhinya
bagi semua pihak (Negara atau manusia) yang bersangkutan.
Machini berpendapat, bahwa hokum personil seseorang
ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat Machini menjadi dasar mazhab Italia
yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada dua macam kaidah dalam
setiap system hokum yaitu :
a.
Kaidah hokum yang menyangkut kepentingan perseorangan
b.
Kaidah-kaidah hokum untuk melindungi dan menjaga ketertiban
umum
Berdasarkan pembagian ini
dikemukakan tiga asas HPI yaitu :
1.
Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi
setiap warga Negara dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil).
2.
Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat
territorial dan berlaku bagi setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan
suatu Negara (prinsip terotorial).
3.
Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang
bersangkutan boleh memilih hokum manakah yang akan berlaku terhadap transakasi
diantara mereka (pilihan hokum).
Cita-cita Machini adalah mencapai
unifikasi HPI melalui persetujuan- persetujuaninternasional swedangkan Von Savigny
ingin mencapainya dalam wujud suatu HPI supra nasional.
Dalam kenyataannya hingga kini,
belum dapat diadakan asas HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hokum selama
ini harus diselesaikan menurut caranya sendiri dan inipun bergantung pada
kebiasaan, undang-undang putusan-putusan pengadilan di dalam masing-masing masyarakat
hokum. Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian
internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI seperti
perjanjian-perjanjian HPI Den Haag.
Langganan:
Postingan (Atom)